Thursday, August 6, 2009

TERBANGLAH BURUNG MERAK KU


TERBANGLAH

SKETSA WAJAHMU MASIH MENGGURAT

AUMAN SUARAMU MASIH MENGGELEGAR

TAJAMNYA TATAPMU MASIH MENUSUK

BIARPUN HARUBIRU TERSEKAT DALAM LABIRIN METAPORA

BURUNG-BURUNG TERBANG MENCARI DAUN DAN RANTING

BERSIAP MEMBANGUN SARANG EMPUK DARI ANYAMAN ASA

SAMBUT SI BURUNG MERAK KEMBALI KE HARIBAAN

PADUAN DOA DAN UCAPAN TERBUNGKUS DALAM PUTIHNYA AWAN

BERLAKSA-LAKSA KATA TERCECER DALAM CARIK-CARIK KERTAS USANG

MENUNGGU MAKNA BARU YANG MASIH TERSISA........

DARI HARI KEMARIN UNTUK MATAHARI ESOK

YANG MENYENGAT JAMRUD KHATULISTIWA HINGGA FAJAR SURUT

WAHAI SI BURUNG MERAK.....

TELAH KAU BAKAR SEMANGAT JIWA DARI KEPAK SAYAPMU

TELAH KAU HEMPASKAN DINGIN DI SANUBARI ...

CAHAYA DALAM WARNA BULUMU HIASI SISA HARI INI DAN ESOK

KAU TELAH AJARKAN TENTANG SEJATINYA PERJUANGAN

SEPERTI MATAHARI YANG SELALU MEMANDU MATA HATI

JIKALAU BINTANG-BINTANG MERENUNG DALAM HYMNE-NYA

RONA MALAM TELAH PULAS DALAM TIDURNYA YANG PANJANG!

NAMUN AKU SUDAH SIMPAN BULU EKORMU YANG TANGGAL

KUSIMPAN DALAM DEKAPAN TERDALAM

KAN KU WARISKAN BAGI TERANGNYA MAYAPADA

HARI INI, ESOK LUSA DAN DI TITIK NADIRKU!

(DEDIKASI WS. RENDRA)

EKA P KUSUMAH

Thursday, May 28, 2009

ARTIKEL MUSIKALISASI (SEBUAH PEMIKIRAN)

TINJAUAN TERHADAP RUANG - RUANG DALAM PAROLE MUSIKALISASI PUISI! (SEBUAH PEMIKIRAN)

EKA P KUSUMAH.

’Seni dapat mengungkapkan hal-hal yang tidak dapat diungkapkan secara lain, seni memberikan penglihatan kepada pemikiran spekulatif, sehingga yang ”buta” dapat ”melihat” transedensi, antara keabadian dan waktu. Seni merupakan suatu dunia antara mistik dan eksistensi,.......................... seni merupakan puncak kesadaran. Dalam seni kesadaran membebaskan diri dari kemelaratan hidup. Tetapi karena seni tidak mengenal keterlibatan dan tidak menerima ikatan, maka dalam seni hanya diciptakan ruang, dan hanya diberikan mekungkinan-kemungkinan. (Karl Jaspers).

Berbicara mengenai musikalisasi puisi sebagai medium seni, lantas menyadarkan kita tentang pemahaman kesadaran akan ”ruang-ruang seni yang otonom”, yang terkandung didalamnya yaitu ruang ’musik’ dan ruang ’puisi’ yang bersatu didalam interaksi ”kerangka situasi” sebuah pementasan (pertunjukan).

Dua entitas seni tersebut menjadi medium pokok interpretasi didalam penggarapan karya musikalisasi puisi, tentu didalam proses kreatifnya akan memiliki perbedaan-perbedaan karakteristik yang berorientasi kedalam konsep pementasan. Perbedaan tafsiran (multi tafsir) sangat umum didalam penggarapan sebuah konsep pementasan dan bukanlah hal yang tabu.

Sebagai contoh, jika seniman musik yang menafsirkan sebuah karya sastra dalam hal ini teks puisi tentu akan mengadirkan interpretasi yang berbeda didalam konsep pementasannya secara menyeluruh, bisa saja musik menjadi ruang yang ”kuat” didalam garapannya bahkan mungkin hanya sedikit bahasa puisi yang terungkap secara lisan yang karena kesemuanya hampir ’terwakilkan’ oleh bahasa musik yang memainkan simbol-simbol didalam komponen musik (warna bunyi, intensitas bunyi, aksentuasi, harmoni, contrapung, lick, dll) sebagai penafsiran atas teks puisi, tentunya ini sah-sah saja.

Juga jika orientasi dilakukan oleh seniman puisi, tentu ’form’ dasar didalam penggarapan MP menjadi lain pula dalam hasil akhirnya. Puisi secara tekstual (main idea) yang di ’gabungkan’ dengan elemen musik dalam konteks MP tentu akan menghasilkan sebuah konsep pertunjukan yang ’berbeda’ pula, elemen musik sebagai ’ruang’ tentu akan lebih difungsikan hanya sebagai medium ’pelengkap’ saja didalam penggarapannya, mungkin hanya dijadikan backsound untuk lebih menghidupkan/ membangun atmosfir sesuai dengan interpretasi dari seniman puisi yang bersangkutan, atau mungkin pula akan menghasilkan bentuk-bentuk pementasan yang lain (tidak baku) bukan hanya sekedar pembacaan puisi yang diiringi musik an sich.

Komposisi musik vokal yang juga sering dijadikan ”altar” penguat atas interptretasi sebuah teks puisi (yang sering bernuansa kelam, biru dan romantis) dalam bentuk koor, gospel dan canon yang dijadikan bahan untuk membangun interpretasi (pemaknaan secara musikal).

Bahkan sering pula teks puisi di ”insert” kedalam sebuah komposisi musik berbentuk lagu dengan penyesuaian-penyesuaian teks atas nada atau sebaliknya untuk mendapatkan atmosphir yang dikehendaki secara subjektif. Dan tentunya ini sah juga, tidak ada yang salah!.

REKONSTRUKSI TERHADAP RUANG ”PUISI”

Puisi sebagai medium seni sastra memiliki kompleksitas tersendiri didalam sosoknya yang intristik, pemahaman mendalam mengenai struktur bangunan tekstual puisi berdasarkan kepada kode-kode yang membangun dasar makna atas teks yaitu ; kode bahasa, kode budaya dan kode sastra. Ketiga kode ini secara krusial menjadi komponen penting didalam menggali pemaknaan atas puisi.

Dalam wujudnya yang kompleks tersebut, puisi memiliki elemen-elemen penting yang menjadi jalinan utama (main frame) didalam keutuhan menyeluruh sebagai sebuah karya sastra. Elemen-elemen tersebut diantaranya ; rima dan ragam bunyi, komposisi kata-kata, enjambemen dan lain sebagainya. Sedangkan didalam proses pembacaan teks puisi juga dikenal dengan adanya tempo dan irama ( rima akhir, rima awal, asonansi, aliterasi, onomatopi, cachopony, euphony, negasi dll).

Dari komponen-komponen dasar yang dimiliki ruang puisi, tentunya kematangan puisi sebagai sebuah karya seni jelaslah tampak dari nilai estetikanya yang holistik membangun ruang ekspresi dan pemaknaan atas kata dan intensitas bunyi dari kata yang dirangkai sehingga menghasilkan struktur bunyi musikal yang identik dengan pencapaian atmosphir yang di bangun oleh komposisi kata, tempo dan gaya pembacaan dari penyairnya!. Apabila kita menganggap bahwa puisi butuh media musikal dari luar dirinya, maka pada dasarnya puisipun memiliki makna ’musikal’ internalnya sendiri. Bahkan ada pernyataan ekstrim ”kenikmatan membaca puisi, yaitu ketika membacanya tanpa musik, karena sejatinya alam disekitarnya adalah irama musik bagi puisinya”.

REKONSTRUKSI TERHADAP RUANG ”MUSIK-ALISASI”

Definisi dari musik adalah ” ilmu pengetahuan dan seni tentang kombinasi ritmik dari nada-nada, baik vokal maupun instrumental, yang meliputi melodi dan harmoni sebagai ekspresi dari segala sesuatu yang ingin diungkapkan terutama aspek emosional” (david Ewen, the home of musical knowledge, 1965.)

Sama seperti puisi yang juga memiliki konsep membangun pemaknaan emosional dalam karyanya, maka puisi dan musik memiliki prinsip dasar yang identik diantara keduanya. Bentuk musik terbentang dalam ruang yang sifatnya spesial, maka musik dapat disejajarkan dengan bentuk-bentuk dalam karya seni sastra. Jika bentuk-bentuk sastra ditulis dari kiri ke kanan (kecuali dalam bahasa tertentu misalnya; bahasa Simetik dan bahasa-bahsa oriental), bentuk-bentuk musik juga ditulis dari kiri ke kanan dan dari bawah ke atas, sehingga arah dari kiri ke kanan menunjukan ruang dimensi waktu, sedangkan dari bawah ke atas menunjukan ruang dimensi yang sifatnya akustik musikal. Kesejajaran dalam kalimat musik, seperti halnya dalam kalimat bahasa, terjadi antara frase anteseden dan frase konsekuen. Ini dapat dilihat dari tulisan musik secara horisontal dari kiri ke kanan. Sedangkan kesejajaran vertikal diantara dua garis melodi atau lebih yang berbunyi bersamaan, dapat dilihat dari tulisan musik secara horisontal sekaligus vertikal, dan pengamatan secara vertikal khusus bagi keselarasan bunyi (harmoni).Suhatjarja.

DEFINISI YANG TAK TERDEFINISIKAN!

Dalam perkembangannya, musikalisasi puisi (MP) banyak mendapat respon dari medium-medium seni yang lain seperti teater dan tari yang juga mulai banyak mengadaptasi puisi sebagai konsep dasar dalam karya pementasannya. Dan ini tentu akan memberikan khasanah baru yang akan memperkaya bentuk-bentuk pertunjukan MP.

Musikalisasi Puisi (MP) sebagai media ekspresi tentu memiliki nilai-nilai estetis yang tidak terbatas (terbuka) terhadap pengembangan didalam pencarian ”bentuk” nya yang kaya akan keberagaman tafsir dan akan menghadirkan sebuah bentuk pertunjukan seni yang mampu mengakomodir berbagai entitas seni (bersinergi), aspiratif dan nilai makna dalam entitas puisi dapat ’tertangkap’ oleh apresiasi penonton (pendukungnya).

Banyak ulasan-ulasan tentang pemaknaan kata dari bentuk musikalisasi puisi, mulai dari penafsiran musik yang mengiringi puisi, puisi yang di musikalisasi, musik berpuisi, gerak teatetrikal puisi (puisi teatrikal), dramatisasi puisi dan lain sebagainya, tentu ini akan memperkaya MP sebagai entitas karya seni yang mendapat tempat dan respon positif dari medium seni lainnya. Tapi ada juga yang masih terjebak didalam ’kedangkalan’ tafsir terhadap MP, seolah-olah MP adalah sebuah karya yang ”mutlak” dengan bentuknya yang ada, seolah-olah dibuat baku sehingga tidak boleh di rubah-rubah (tanpa aturan yang jelas dan mendasar), sehingga MP menjadi kaku dan miskin akan eksplorasi, aspirasi, interpretasi dan pemaknaan ekspresi. Ini tidak sejalan dengan wujud dari sebuah bentuk kesenian yang membutuhkan proses kreatif dan penggalian ide-ide original (avant garde) yang terus ber-evolusi bahkan berevolusi seiring dengan perkembangan diskursus seni yang kontemporer!.

’dengan menggambarkan tiga contoh, masing-masing dari gaya pribadi,gaya nasional dan gaya periode, telah dijelaskan mengenai tujuan sejarah kesenian yang menganggap gaya terutama sebagai ekspresi, yaitu ekspresi dari jiwa suatu bangsa sebagai ekspresi dari tempramen pribadi.

...deskripsi mengenai perbedaan antara raphael dan rembrandt adalah semata-mata penghindaran dari masalah utama sebab yang penting bukanlah untuk menunjukan perbedaan keduanya, melainkan bagaimana keduanya dengan cara yang berbeda telah mengasilkan yang sama, yaitu seni yang agung’.Heinrich Wolfflin, 1929, h 10.

MUSIKALISASI PUISI KARYA SENI MUTLAK, ATAU MEDIUM KREATIVITAS?

Ada beberapa pertanyaan mendasar ketika medium puisi yang terus berkembang seiring semangat kemajuan dunia seni kontemporer (post modernisme), pertanyaannya adalah : Apakah Musikalisasi Puisi merupakan langkah etis dalam estetika puisi ?, Apakah hanya entitas musik saja yang ’mampu’ menghidupkan realitas pementasan sebuah karya puisi?, Apakah hanya musik dan puisi dua entitas yang koheren sebagai komponen dasar dalam MP?, Lalu bagaimana dengan teks puisi yang digubah kedalam ”lagu” dengan gaya tertentu juga tidak akan merubah makna intristik dari puisi tersebut? Bagaimana pemaknaan ekspresi antara puisi yang dibacakan tanpa musik dengan puisi yang dimusikalisasi? Bentuk musikalisasi seperti apa yang menjadi idiom baku dalam MP?, Apa batasan-batasan konkret untuk sebuah wujud real dari karya Musikalisasi Puisi? Dari pertanyaan-pertanyaan tersebut mungkin akan mendapat jawaban yang beragam dan kompleks, bahkan akan terbuka peluang lahirnya interpretasi baru terhadap wacana musikalisasi puisi!.

Jawaban dari pertanyaan-pertanyaan diatas menjadi narasi besar didalam proses pencarian bentuk dan penafsiran atas pemaknaan tekstual dalam konteks ruang-ruang otonom Musikalisasi Puisi. Entah mau di bentuk seperti apa musikalisasi puisi oleh setiap seniman yang menggarapnya, kebebasan ada ditangan kreatornya, tanpa batasan nilai baku yang dikodifikasi dan tentunya output yang dihasilkan akan memberikan gaung segar atas originalitas karya dan etetika yang tidak dipaksakan.Toh didalam kenyataan bahwa sebuah karya seni yang otonom akan menjadi karya yang apresiatif ketika mendapat respon dari penonton (pendukungnya) sehingga komunikasi yang kondusif sejatinya terjadi diatas pentas.

Kita tak berharap terus berenang dalam samudera abstraksi yang tanpa batas dan akhir, setidaknya kita coba menggapai tepian pemikiran yang konkret dan membumi atas dasar fitrahnya sebuah karya seni yang menjadi milik bersama!.

PUISI KATANYA!

EKA P KUSUMAH

GERIMIS

Senja tersiram hujan, dipenghujung nopember

Setelah puisi ku larut dalam segelas capucino

Itupun tak lama setelah dedaunan bercerita tentang bunga yang ranum dalam kelopaknya

Lalu........... kunang-kunang menyapa dalam sisa gerimis.

Masih adakah nyanyian dalam kehangatan balutan sutera

Ketika dinginya waktu beringsut dicakrawala.

Nopember 1998

MASIH JANUARI

Masih saja berdiri mencari garis-garis yang memanjang saling memotong

Masih saja tertegun dalam balutan bait-bait keraguan

Masih saja bernyanyi lantunkan symphoni memabukan

Dan diantara beningnya cahaya matamu

Kutangkap .... aroma harumnya keniscayaan

Membelah nurani hingga tak berujung

Menggoda ..... landai dan meruncing.

Jan 00

RINAI

Rinai .....

Haruskah aku bertanya tentangnya?

..... hanya terdiam dalam kepekatan.

Rinai ......

Dimanakah gerangan kasihnya?

..... hanya bayangan yang coba menjawab dengan kebisuan.

Rinai .... ..

Akankah ia berkunjung padaku?

..... hanya ketika pintu itu diketuk oleh waktu.

Rinai ........

Bolehkah ciuman membangunkan tidurnya?

...... tidak hanya untukmu,.... dan bukan juga untuknya!

Rinai ....., lalu,......

Biarkan aku terbakar ole api cemburumu...

Maret 00

PENYAIR TUA

Ia sudah lupa cara menata kata

Ia sudah lupa bagaimana bertutur

Ia sudah pula lupa menumpahkan semangkuk makna

Ketika ia tertidur bermimpi dalam lautan kosakata

Lalu ketika ia terbangun........

Tak mampu lagi bertanya tentang arti semantik

......hingga hanya bertemankan matahari yang selalu setia

......hingga tinggal gunung bisu yang masih ajeg dalam duduknya

.....kemudian iapun bergegas untuk tidur dalam keabadianNya

April 2001

TUHAN TUHAN

Kau bicarakan tuhan mu seakan hanya tuhanmu yang paling hebat

Kau kabarkan hanya tuhanmu yang dikenal oleh tuhan-tuhan mereka

Ketika tuhan-tuhan mereka belum lahir tuhanmu tahu itu

Kata-kata tentang tuhanmu menggelegak menusuk kerongkongan...

Tuhanmu dan tuhan mereka berkongsi dalam nyanyian awan

Menebar angin yag menyibakan keheranan

Membelah angkasa dengan nyanyian perang

Lalu setelah itu tertawa dalam bau amis darah perawan

Katanya tuhanmu yang berwujud dalam keabadian

Tanpa bayangan dalam sorot cahaya

Bermakna dalam tatap mentari

Sanggup memeluk gunung dengan dua hasta dekapan

Kini dalam keakuan kau bertanya tentang tuhanku

Dimana gerangan dia?

Tunjukan siapa dia?

Hadirkan dalam pusaran waktunya!

........... ilalang menjawab dengan tanya

Wahai tuhan kau dan tuhan-tuhan mereka!....

Tuhanya takan pernah kenal dengan tuhanmu dan tuhan-tuhan mereka, mengapa?

Angin diam dalam renungannya...., api tertunduk dalam geloranya....

Segenap bintang... berseru tuhanya yang mecipta tuhanmu dan tuhan-tuhan mereka!!

Tuhanmu dan tuhan-tuhan mereka hanya kedipan mata tuhannya!

Tuhanmu dan tuhan-tuhan merekaabadi dalam ketidaktahuan akan tuhannya!

Karena tuhannya yang meciptakan keabadian, tanpa keraguan didalamnya!

Tuhanmu dan tuhan-tuhan mereka hanyalah getaran mistik darinya

Jangan kau tanya tuhannya!

Jangan kau hadirkan dia dalam pusarannya!

Waktupun bertanya siapa yang menghadirkannya!

Lalu semua terdiam dalam bisunya!

Hanya bianglala yang berdansa dalam pusaranya, menanti masa yang hilang berganti.

Des 1997

NYANYIAN TROTOAR

Sepanjang jalan itu kini memerah oleh bougenvile yang berguguran

Kanda teringat wanginya uap aspal yang baru tersiram hujan..

Basah, ....membuat resah lamunan

Dinda sempat memungut sekuntum bougenvile yang tercecer..

Menyematkannya di kuping kanan...

Sejurus menari,...riang dan sedikit nakal..

Dalam guyuran rinai gerimis sabtu sore

Berjingkat-jingkat kaki kecilmu melompati genangan air hujan di sepanjang trotoar jalan itu

Kerlingmu menebar hingga ke ujung tikungan di depan sana

Bidadari terpana akan senyumu

Burung-burung terdiam dalam gumaman senandungmu

Sehinga jam lupa untuk berdetak

Mentari enggan untuk menggelicir menutup hari!

Sept 1999

DIANTARA GELISAHNYA AWAN (Eka Priadi Kusumah)

DIKEDALAMAN

Diantara gelisahnya awan……….

Dan gemuruhnya badai jiwa

Samar bayangmu melintas dicelah sukma

Perlahan.....,anggun,...lugas,..selaras seperti paras andromeda.

Walau dikejauhan, matahari terus saja,..dan tak bosan menatapmu!

Aku terus sembunyi dalam dekapan rembulan.

Belajar puisi cinta pada antariksa yang flamboyan

Hendaklah kau menerima apa adanya setangkai bunga metafora

Janganlah tidurmu kau hiasi dengan rajukan semilir angin...

Tapi mendekatlah pada kenyataan .....

Bahwa pungguk tidaklah akan mencitai sang rembulan.

Angin masih saja menyibakan rambutmu yang tertangkap cahaya matahari..

Membuatku mabuk,.....seperti nahkoda kehilangan arah haluan

Kau,...kamu,...,ya..tentunya kamu seorang ... telah ...menawan hasratku dikedalaman.

Agustus 99.

SECANGKIR MAKNA

Sabtu siang , mendung menggelayut dipucuk-pucuk pinus yang melambai.

Aku larut dalam semilir wewangian alam

Tak lama setelah kau menyuguhi aku secangkir makna cinta

Yang rasanya....bintangpun tak sanggup untuk menggambarkannya.

Pohon perdu bernyanyi merdu......

Sambut buaian cinta

Hilangkan kebekuan dalam pualam jiwa

Sept 99

PRELUDE

Kini aku terdampar pekatnya smaradahana

Walau kau hanya sisakan setangkup senyum

Cukuplah untuk malam yang tinggal sepenggal

Lalu kau bertutur tentang perjalanan....

Genggamanmu hentikan bayangan,

Andaikan waktu dapat bicara...

Mestinya ia akan berjanji.

Kini kita terpejam di penghujung malam

Hanya bisikan angin yang terdengar

Dan kita berpegang erat pada kereta takdir

Cikini, Oktober 1997

PERON

Kereta mu tak kunjung tiba

Aku terkunci dalam penantian

Hingga peluit ditiupkan berulang...

Diperon langkahku kaku terhenti...

Ketika rambutmu sibakan kebisuan

Berlari aku kejar kereta mu

Lamunanku tersadar oleh rayuan rel yang meliuk berkelok

Tatkala penyair jalanan lantunkan rayuan parau..

Disanalah kau duduk dalam pusaran ketidakpastian

Kau dan aku menanti waktu ...

Kau dan aku terdiam dalam gelisah kata..

Kau dan aku porak-poranda oleh kata-kata yang membisu

Lalu bayanganku menghampiri gelisahmu....

Tanpa ragu kau katakan....

Ciumlah aku hingga kereta ini kembali!

Cikini, Nopember 1997

SILUET

Di tepian danau kau menari

Hanya dibalut selimut tipis halimun yang mengambang

Lekuk tubuhmu ceritakan perjalanan

Sampai titik kulminasi ini aku terhenyak

Diantara desahan nafasmu

Aku... merenung,

Sulit gambarkan siluet dari lekuknya kegamangan birahi

Meraja......dan melingkupi kesadaran.

Tinggal detak yang tersisa dalam dada

Segalanya nyata dalam gambaran angan

Seperti riaknya danau

Yang hijau kebiruan dalam dekapan

Jatiluhur feb 1996

DINDA

Masih teringatkah dinda tentang masa yang kerap meneggelamkan kita?

Masih teringatkah dinda nyanyian pelog atau slendro dalam pupuh yang selalu kita gubah?

Lupakah dinda akan sapaan ilalang yang selalu saksikan percumbuan kita di saat meleburkan asmara dikedalaman senja?

Tidakah dinda merasa bahwa selama ini kata-kata tidaklah cukup untuk buktikan segenap rasa dalam renungan malam?

............dinda hanya senyum,

Hanya menebar tatapan dalam, hingga keraguan itu terkelupas.

Dinda, selalu saja terucap kata tentang fananya cinta diantara celah makna antara hidup dan matinya rasa!

Dinda, anggunmu dalam tersenyum adalah jelmaan dari karatnya waktu yang menanti habisnya syahwat yang terumbar langit!

...hingga awan dan mega-mega berarak sambut tiupan cinta dari surga!

...hingga tiada mungkin lagi aku bertanya tentang cinta padamu dinda!

Karawang, des 2000


Eka Priadi Kusumah

Tuesday, October 28, 2008

Tinjauan Kirab Merah Putih tidak menjadi kirab merah dan kirab putih

sebuah proses instant dari komunitas seniman muda karawang dalam menggarap produksi pertunjukan (musikalisasi puisi) atau entah apa namanya pertunjukan tersebut karena sangat sukar untuk didefinisikan!!!. dari segi pemanggungan produksi yang digelar hari minggu lalu tgl. 26 Oktober di pelataran GOR Panatayudha Karawang, sangat "memaksakan kehendak", seolah tidak memperhitungakan faktor2 teknis dan non teknis untk sebuah produksi outdor!. audiens tidak dapat "melahap" bentuk pertunjukan secara "utuh", ini dikarenakan kurangnya penggarapan dalam segi kemasan pemanggungan. ini memungkinkan tidak terjadinya "komunikasi" antara karya dengan penonton. sungguh sangat disayangkan!!!!!
dalam segi teknis pemanggungan, banyak yang tidak digarap "disepelekan" misalnya: kondisi tempat,lokasi pertunjukan yang tidak mendapat perhatian khusus dari sutradara, sehingga para pemain merasa tidak full-actions dikarenakan kondisi tempat yang tidak memadai untuk melakukan maneuver sesuai dengan plot yang digariskan (pemain terlihat kikuk karena kepanasan ketika melakukan maneuvering di pelataran panggung).
selain itu proses penggarapan puisi dengan musikalisasi terasa kurang gereget, banyak faktor yang menjadikan bahasa puisi dan bahasa musik tidak tertangkap secara utuh oleh penonton,juga banyakkonfigurasi gerak yang terbuang percuma ini dikarenakan kurang detilnya proses penggarapan. contoh konkret adalah tidak ada center view yang di sketsa diatas panggung, dalam hal ini penonton bingung mencari sudut (angel view dalam setiap babak pemanggungan) semua angel terkesan "tercecer"

tapi tidak mengapa mengingat begitu pendeknya interval waktu dalam proses produksi!!, semoga dilain waktu dan kesempatan KOSIM dapat menggarap lebih berkualitas lagi.
juga pihak panitia lebih Profesional lagi didalam menggarap produksi yang melibatkan banyak crew!
BERANDA SENI KARAWANG